Sabtu, 10 Januari 2009

Merajut Damai Melalui Integrasi Sosial Masyarakat

Paragraf Pertama
Sejalan dengan menurunnya intensitas konfik dan kekerasan di Indonesia, setidaknya memberikan secercah harapan bagi terciptanya Indonesia yang lebih damai dan kondusif. Namun demikian letupan-letupan kecil beraroma kekerasan masih marak terjadi di beberapa wilayah dengan latar belakang kasus yang berbeda-beda. Perdamaian jangka panjang dan harmoni setidaknya menjadi khayalan bersama, walau tidak mudah menggapainya.

Permasalahannya sekarang adalah bagaimana menjawab masalah dan tantangan atas pembangunan perdamaian jangka panjang yang berakar dalam kehidupan dan yang dapat menyahuti kebutuhan masyarakat sendiri?. Dalam hal ini bagaimana individu-individu dan institusi-institusi dalam masyarakat mampu mendorong kepercayaan, empati, simpati, ketertarikan, kerjasama, dan dialog sehingga tercipta masyarakat yang lebih damai.

Perdamaian yang diharapkan bukanlah ketiadaan kekerasan dalam berbagai bentuk, apakah itu bentuk fisik, sosial, psikologis, dan struktural semata (Reardon,1988). Tetapi terciptanya kesejahteraan, kebebasan, dan keadilan di masyarakat (Woolman, 1985). Tanpa itu tidak akan pernah terjadi kedamaian yang sesungguhnya di dalam masyarakat. Untuk mewujudkan itu semua, dibutuhkan integrasi sosial masyarakat yang utuh sebagai pilar utamanya.

Secara teoritis, menurut penganut fungsionalisme, integrasi sosial senantiasa muncul dan tumbuh berdasarkan konsensus (kesepakatan) di antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental (mendasar). Selain itu, integrasi bisa tercipta melalui berbaurnya anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation). Jika suatu ketika terjadi konflik di antara kesatuan sosial dengan kesatuan sosial lainnya maka akan segera dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial. Hal ini sekalan dengan pandangan Durkheim, dimana integrasi sosial diartikan sebagai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka.

Teori biasanya selalu berbeda dengan prakteknya. Dalam prakteknya, merajut dan menata loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) atau toleransi dalam bingkai integrasi sosial masyarakat sungguh sulit dan membutuhkan pengorbanan maha besar. Apalagi dalam konteks ke-indonesiaan, akar konflik atau kekerasan yang ada di tanah air ini terlanjur mengakar kuat baik konflik horizontal maupun konflik vertikal.

Kedua akar konflik tersebut setidaknya bersumber dari banyak muara yakni masalah-masalah social yang melatarbelakanginya seperti ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan sosial, konflik agama dan etnis serta perbedaan pandangan politik. Hingga akhirnya kekerasan menjadi jalan pilihan terakhir, perkara melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) atau tidak itu urusan lain. Jika demikian adanya maka jangan berharap banyak stabilitas nasional dan perdamaian akan terwujud, namun bahkan akan sebaliknya.

Kasus bentrokan antara AKKBP (Aliansi Kebangkitan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) dan Front Pembela Islam (FPI) di Monas misalnya menjadi sebuah bukti nyata bahwa demi mempertahankan keyakinannya masing-masing, akhirnya kekerasan menjadi pilihan terakhir. Walau akhirnya melabrak hak-hak asasi manusia beberapa pihak yang menjadi korban bentrokan tersebut.

Selama ini integrasi sosial hanya sebatas formalitas an sich tanpa melibatkan pemahaman yang utuh tentang urgensi kebersamaan dan perdamaian diantara mereka. Polarisasi di tingkat grassroot yang diikuti oleh konflik kekerasan akhirnya menjadi pilihan utama penyelesaiannya. Prasangka negatif (negative stereotyping) antar individu dan kelompok masyarakat akhirnya dapat merenggangkan ikatan solidaritas sosial dan bahkan menjadi sumber pemicu konflik dan disharmoni. Belum lagi jika dikaitkan dengan berbagai konflik yang terjadi di masyarakat seperti konflik social, ekonomi dan budaya.

Jika dilihat dari realitas tersebut diatas maka seyogyanya integrasi sosial di Indonesia mengedepankan pendekatan yang lebih holistik yang berbasiskan toleransi. Toleransi berarti menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda. Sikap toleran tidak berarti membenarkan pandangan yang dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak asasi para penganutnya.

Dalam masyarakat Indonesia yang beragam atau plural, toleransi akan memegang peran yang sangat penting. Masyarakat yang plural akan memiliki banyak sekali perbedaan, sehingga sangat mungkin perbenturan hak akan sering terjadi. Ketika terjadi persinggungan hak-hak individu dalam masyarakat atau hak-hak masyarakat dalam negara maka toleransi adalah sebuah solusi yang terbaik.

Namun harus diingat bahwa toleransi yang harus hadir adalah toleransi aktif, dan bukan hanya sekedar -meminjam istilah Paul Knitter-toleransi yang malas (lazy tolerance). Dalam toleransi semacam ini, setiap pihak hanya mengakui keabsahan pandangannya masing-masing dan kemudian saling mengabaikan, karena masing-masing mengambil jalan yang memuaskan mereka sendiri.

Segala bentuk persoalan sepelik dan serumit apapun haruslah dicarikan jalan keluar yang terbaik, dengan menghindari jalan-jalan kekerasan sebagai pendekatannya. Apalagi semua agama di dunia sepakat untuk melarang segala bentuk kekerasan.

Selain toleransi, terobosan-terobosan baru juga dapat dilakukan dengan meningkatkan intensitas dan efektifitas koordinasi diantara seluruh komponen yang memiliki potensi konflik. Hal ini dapat dilakukan melalui kerjasama dalam merespons benih-benih-benih konflik yang berpotensi muncul. Dan menambah frekuensi kerjasama nyata di tingkat arus bawah. Hingga akhirya perbedaan yang ada dapat menjadi modal social masyarakat untuk bersatu dalam damai selamanya. Kesadaran akan seluruh perbedaan dan penghargaan atas kebersamaan akan menjadi kunci penting proses integrasi sosial ini. Memang tidak mudah tapi inilah jalan yang terbaik demi kemaslahatan bersama, atas nama Indonesia.

Kata damai memang dambaan seluruh masyarakat tapi perjuangan untuk merelasisasikannya tidak semudah melipat kedua belah telapak tangan kita. Hal ini sesuai dengan pernyataan Albert Einstein, bahwa damai bukanlah sekadar absennya perang, melainkan adanya keadilan, hukum, dan ketertiban.


Semua Paragrap yang di sembunyikan

Read More…

Tidak ada komentar: